Itu
kalimat terakhir Aya.Dia langsung saja pergi tanpa mempedulikan tatapan dari
anak-anak lain. Kau telah membuat masalah besar Aya. Kau membohongi dirimu
dengan semua kesalahanmu. Kau selalu berkaca di cermin hitam. Kau tak mau
mencoba berkaca di cermin bening. Itu letak masalahmu selama ini.
***
Sorenya
aku masih melakukan kegiatan harianku. Menggantungkan surat dan
memotretnya bersama langit senja. Aya
sudah dating dari tadi. Dia cukup lama menatap senja itu. Tak biasanya. Mungkin
karena kejadian tadi pagi di sekolah. Langit telah sempurna gelap. Aya berdiri
dan menjepitkan secarik kertas di ranting pohon. Setelah yakin Aya sudah pergi
aku segera naik ke atas bukit dan mengambil suratnya. Malam ini sangat sunyi.
Bulan yang hampir sempurna menghias langit bersama kilauan kecil dari
bintang-bintang.
I’m so confused
Hanya
itu isi surat Aya. Aku membuka tas ranselku. Kuletakkan dua buah cermin di
bawah pohon. Aku tidak tahu mengapa aku meletakkannya di sini. Aku hanya
berharap dia akan menemukannya dan mengetahui artinya.
***
Ini
malam purnama. Aku datang ke bukit batu ini lebih awal. Aya belum datang.
Dibalik batu tempat persembunyianku ini aku hanya melihat memori yang ada di
dalam kameraku. Aku tersenyum sendiri mengingat usahaku selama ini. Kenapa aku
repot membantunya jika dia tidak berubah? Kenapa aku repot membantunya padahal
orang lain diam? Aku juga tidak tahu. Sanyup kudengar suara langkah kaki. Aya
sudah datang. Kuangkat kepalaku untuk melihatnya. Dia memakai celana hitam
panjang dan sweater biru mudanya. Rambutnya panjang tergerai. Kau cantik Aya? Apa?
Aku menepuk dahiku dengan telapak tanganku sendiri. Apa yang kau pikirkan Ryan?
Rutukku dalam hati.
Senja
telah hilang. Kini menggantung bintang-bintang dan rembulan yang sempurna purnama
di atas sana. Angin malam berhembus lembut. Kulihat Aya merapatkan sweaternya.
Aku juga merasakan dinginnya malam ini. Namun ini dingin yang indah. Coba
bayangkan. Aku ada di atas bukit batu menatap langit yang luar biasa indahnya. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu
dustakan? Aya menuruni bukit dengan wajah sendunya. Apa dia tidak membalas
suratku?,tanyaku dalam hati. Aku hanya melihat kepergian Aya dengan tatapan
penuh keheranan. Tanpa menunggu lama lagi aku segera mendaki bukit dan mencari
kertas suratnya. Siapa tahu hanya terjatuh dari ranting? Tanganku sibuk
menyibak ranting di hadapanku. Tidak ada. Ya Tuhan. Aku menatap langit pasrah.
Dia benar-benar tidak mau berubah? Cukup lama aku berdiri menatap langit dan
memikirkan Aya. Angin malam terasa semakin dingin. Aku memutuskan untuk pulang.
Namun…
“Ya
Tuhan….Arrghh!” Jeritku reflek.
Saat
aku berbalik akan pulang ternyata Aya ada di belakangku. Karena kaget akupun
terjatuh ke belakang dan punggungku menghantam batu. Aku hanya meringis menahan
sakit dan segera berdiri. Aya menatapku dengan sorot mata tak percaya.
Melihatnya begitu aku hanya menggaruk kepalaku. Bukankah dia sudah pulang?
Kenapa sekarang ada di hadapanku?
“Jadi
selama ini kau orangnya? Kau yang membalas suratku? Kau yang menggantungkan
surat-surat itu di ranting pohon?” Tanyanya panjang lebar.
“I..i…iya”
Jawabku ragu.
“Kenapa
kau peduli? Bukankah aku orang jahat? Kau mengetahui semuanyakan?” Dia berjalan
ke arah tempat yang biasanya ia duduki. Aku mengikutinya dan duduk di
sampingnya. Wajah sendunya menatap langit. Tatapan matanya penuh ketakutan. Aku
tahu itu.
“Sekarang
aku ingin bertanya padamu. Apa makna dari Miss
Black Mirrors?” Aya menatapku
untuk meminta penjelasan.
“Kau
seperti selalu bercermin di depan cermin hitam. Kau tidak ingin melihat dirimu yang
asli. Kau tak mau melihat semua kesalahanmu. Ya,seperti kau sedang bercermin di
cermin hitam” Jelasku sambil menatap langit.
“Coba
kau pikirkan jika kau bercermin di cermin hitam. Kau tak akan bisa melihat
dirimu dengan jelaskan?” Tuturku selanjutnya. Aya hanya mengangguk lemah. Aku
berdiri dan mengambil dua buah cermin yang kuletakkan kemarin sore.
Memberikannya pada Aya. Dia hanya menatap heran.
“Coba
kau berdiri dan lihatlah wajahmu di cermin hitam ini!” Dia mengambil cermin
yang kuulurkan.
“Wajahku
buram tapi rembulan itu tidak” katanya sambil menunjuk bayangan bulan di dalam
cermin.
“Itu
karena bulan selalu jujur. Dia tak akan melawan mendung yang menghalanginya
walaupun itu akan membuatnya terlihat jelek. Coba perhatikan bayanganmu. Andai
ada jerawat di wajahmu kau tak akan melihatnya karena kau menutupinya dengan
cermin hitam” Aku bisa melihatnya yang sedang memperhatikanku dari ekor mataku.
“Sekarang
lihat dirimu di cermin bening ini!” Kuserahkan cermin bening yang tadi masih
kupegang.
“Wajahku
jelas dan rembulan tetap indah”
“Kau
seharusnya selalu bercermin. Akui kesalahanmu. Jangan menghindarinya dengan
menutupi kesalahanmu. Minta maaflah jika kau memang berbuat salah” Aku melihat
ada kristal bening yang mengalir dari kedua manik kembarnya.
“Sekarang
aku sadar Ryan. Aku memang salah. Aku tak akan mengulanginya. Kan kugunakan
cermin beningku setiap saat.” Dia melihatku lembut.
“Terimakasih
telah membuatku sadar,Ryan. Terimakasih” Aya tersenyum manis padaku. Aku
menghapus air matanya.
“Janji
jangan ulangi dan tetaplah tersenyum” Aku memandang langit yang semakin gelap.
Aku baru ingat kalau ini malam Minggu. Bibirku membentuk senyum simpul.
“Ayo
pulang!” Ajakku.
Aku
menarik tangannya untuk berdiri dan bergegas pulang. Malam ini tak akan
kulupakan sepanjang hidupku. Selama perjalanan pulang Aya selalu menebarkan
senyumnya. Begitupun denganku.
***
Sejak
malam itu Aya berubah menjadi gadis yang periang. Banyak teman-teman yang mendekatinya. Aku hanya bisa tersenyum lebar
melihat raut wajahnya yang ceria. Aku bergegas menuju ke arah tempatnya berada.
Toni ada di sampingku.
“Kau
menyukainya! Karena itulah kau berjuang untuk mengubah sifatnya!” Celoteh Toni.
Aku
mengerutkan dahiku. Apa benar? Entahlah. Yang terpenting aku telah berhasil.
Bayang rembulan di cermin hitam itu membantuku. Terimakasih Tuhan. Ayah benar.
Suatu perjuangan akan membuahkan hasil yang sangat hebat asal kita ikhlas
menjalaninya. Aya,tetaplah tersenyum. Pikiranku buyar karena Toni terus
mengoceh di sampingku. Dasar usil. Aku hanya tertawa menanggapinya. Semua akan
indah pada waktunya.
***