Sabtu, 14 Februari 2015

Bayang Rembulan #2



“Baiklah anak-anak pelajaran akan segera dimulai. Mohon perhatiannya!”
Syukurlah Bu Ella tidak memarahiku. Sekarang aku bisa menghembuskan nafas lega.
***
Aku sibuk menggesek-gesekkan kedua belah telapak tanganku. Sore ini terasa lebih dingin dari biasanya. Kamera SLR yang menggantung di leherku masih setia menunggu. Langit belum sepenuhnya berubah ungu. Siluet matahari sore menimbulkan garis-garis oranye yang menghias langit. Aku duduk bersila di balik batu besar. Menunggu kedatangan gaadis itu. Seperti biasa,aku sudah menggantungkan sepucuk surat di ranting pohon. Ah,pohon itu memang penyatu jiwa. Sifat alaminya membawa kedamaian bagi kehidupan di sekitarnya. Pohon itu berdiri tegak di atas bukit batu kecil.Pohon yang di bawahnya selalu menjadi tempat Aya mebaca surat dariku. Inilah yang kumaksud berhubungan dengannya lewat surat. Tidak ada perangko,tidak ada pengantar surat dan tidak ada pula kotak surat. Yang ada adalah perantara surat : ‘Pohon’.
Dulu saat aku masih kelas tiga Sekolah Menengah Pertama diam-diam aku selalu mengawasinya di balik batu besar ini. Kompleks perumahan di daerah ini memang terletak di perbukitan. Aku selalu datang ke bukit ini setiap sore. Memotret senja yang menjadi hobiku. Dan saat itulah aku melihat gadis itu duduk di bawah pohon. Dia memandang mentari tenggelam. Sejak sore itu aku selalu mengamatinya. Penampilannya sungguh berbeda dengan di sekolah.Raut wajahnya juga berubah 180 derajat. Jika di sekolah dia terkesan dengan wajah cueknya,sombongnya,dingin dan yang lainnya maka di tempat ini wajahnya terkesan anggun,manis,pendiam dan feminim.
“Surat lagi…”
Aku mendengar suara lembut Aya. Gadis itu telah datang. Aku segera bangkit dari dudukku. Mengintipnya dari tempat persembunyianku. Dia mengambil surat yang ku gantungkan tadi. Membukanya pelan lalu terlihat kedua matanya mulai bergerak meniti tulisan pada kertas itu. Aku tersenyum melihatnya yang tiba-tiba menyunggingkan senyum manisnya. Tanganku meraih SLR yang masih tergantung di leherku. Tak akan kulewatkan momen ini. Inilah kegiatan baruku setiap sore sejak saat itu. Aku memandang hasil potretku puas. Langit telah berubah oranye tua. Raja siang itu akan kembali ke peraduannya dan akan segera tergantikan oleh bintang malam. Aku kembali tersenyum lebar. Sunset yang sangat indah. Aksiku sudah tak bisa dihentikan. Kalau sudah seperti ini,hanya malam yang akan mengingatkanku untuk segera pulang. Aku mengambil banyak gambar sore ini. Terlalu asyiknya sampai-sampai aku tak mengetahui kapan Aya pergi meninggalkan  tempat ini. Aku melangkah menuju pohon di atas bukit. Mengambil sehelai surat yang terjepit di ranting pohon.Inilah jawaban suratku.
Langit berubah ungu.Siluet sinar matahari masih tersisa di langit ungu. Aku segera mengambil surat itu dan pulang. Kakiku lincah meloncat menuruni perbukitan kecil ini. Asyik tersenyum sepanjang perjalanan pulang. Tidak memerlukan waktu lama untuk kembali ke rumah. Hanya perlu berjalan kurang lebih sepuluh menit. Aku melihat mobil Ayah yang baru saja memasuki garasi. Seketika aku menghentikan langkahku dan menatap heran. Jarang sekali Ayah pulang sore. Biasanya Ayah selalu pulang saat jam di kamarku menunjukkan pukul setengah Sembilan lebih. Tersadar dari rasa heranku,aku segera berlari menghampiri Ayah.
“Ayah tumben sudah pulang?” Tanyaku saat Ayah menutup pintu mobil.
“Memangnya tak boleh?” Jawab Ayah sambil mendekatiku dan mengacak rambutku lembut.
“Bukan begitu maksudku,tapi baru kali ini Ayah pulang cepat”
“Kau tau? Ayah baru saja mendapat penghargaan dari perusahaan. Ayah menjadi pegawai terbaik tiga tahun ini” Kata Ayah sambil menepuk-nepuk pundakku dan mengajakku memasuki ruang keluarga. Ayahku bekerja di sebuah perusahaan observasi alam di daerah ini. Sebagai pengawas kegiatan para observator alam  yang bekerja di lapangan.
“Wow! Hebat dong!” Seruku.
“Itulah,kamu harus menjadi anak yang lebih hebat dari Ayah. Terimalah setiap kritikan dari orang lain” Ayah menasehatiku sembari mengajakku duduk.
“Bagaimana jika ada orang yang memberi kritikan padahal aku sudah berbuat benar?” Tanyaku penasaran.
“Jangan beranggapan kamu telah melakukan hal yang benar. Mungkin kita merasa benar tapi kita tida tau apa anggapan orang lainkan?”
“Lalu apakah kita boleh menilai perilaku seseorang?” Aku teringat ucapan Toni tentang Aya di sekolah tadi.
“Tentu saja itu diperbolehkan” Ayah menatapku lembut. Aku hanya menganggukkan kepalaku tanda mengerti.
“Tapi…jangan menilai orang lain sebelum kamu menilai dirimu sendiri. Dan ingatlah untuk selalu menggunakan cerminmu” Tutur Ayah
Aku kembali memandang Ayah penuh kekaguman. Ternyata Ayahku pandai menyusun kata-kata. Aku akan selalu mengingat perkataan Ayah dalam setiap kegiatan yang kulakukan. Tunggu,Mendengar perkataan Ayah tadi aku jadi teringat dengan Aya. Miss Black Mirrors di sekolahku. Mungkin perkataan Ayah adalah jalan yang tepat untuk menyadarkannya.
“Aku pergi ke kamar dulu” Pamitku ke Ayah.
Sesampainya di kamar aku langsung duduk di dekat jendela kamarku. Membaca isi surat Aya. Aku memandang langit senja yang sudah mulai berbintang. Sudah satu tahun lebih aku membantu menyadarkannya. Namun sampai saat ini belum membuahkan hasil secuilpun.  Aku selalu menulis petuah dalam suratku. Haruskah aku bertemu dengannya dan mengatakannya langsung. Kupikir aku terlalu takut.
Hai…
Aku telah membaca semua surat darimu. Kau siaspa sebenarnya? Aku tak pernah melihatnu di bukit. Aku hanya mendapati surat-suratmu yang tergantung di ranting pohon. Aku tau sifatku selama ini salah. Namun aku juga bingung dengan diriku sendiri. Mengapa aku belum bisa mengubahnya? Dan apa maksud Miss Black Mirrors ? Aku punya firasat bahwa kau juga bersekolah di tempat yang sama denganku. Apa itu benar? Kenapa kau sembunyi?                                                                                          
Aya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bayang Rembulan #4

Itu kalimat terakhir Aya.Dia langsung saja pergi tanpa mempedulikan tatapan dari anak-anak lain. Kau telah membuat masalah besar Aya. K...