“Baiklah
anak-anak pelajaran akan segera dimulai. Mohon perhatiannya!”
Syukurlah Bu
Ella tidak memarahiku. Sekarang aku bisa menghembuskan nafas lega.
***
Aku
sibuk menggesek-gesekkan kedua belah telapak tanganku. Sore ini terasa lebih
dingin dari biasanya. Kamera SLR yang menggantung di leherku masih setia
menunggu. Langit belum sepenuhnya berubah ungu. Siluet matahari sore
menimbulkan garis-garis oranye yang menghias langit. Aku duduk bersila di balik
batu besar. Menunggu kedatangan gaadis itu. Seperti biasa,aku sudah
menggantungkan sepucuk surat di ranting pohon. Ah,pohon itu memang penyatu
jiwa. Sifat alaminya membawa kedamaian bagi kehidupan di sekitarnya. Pohon itu
berdiri tegak di atas bukit batu kecil.Pohon yang di bawahnya selalu menjadi
tempat Aya mebaca surat dariku. Inilah yang kumaksud berhubungan dengannya
lewat surat. Tidak ada perangko,tidak ada pengantar surat dan tidak ada pula
kotak surat. Yang ada adalah perantara surat : ‘Pohon’.
Dulu
saat aku masih kelas tiga Sekolah Menengah Pertama diam-diam aku selalu
mengawasinya di balik batu besar ini. Kompleks perumahan di daerah ini memang
terletak di perbukitan. Aku selalu datang ke bukit ini setiap sore. Memotret
senja yang menjadi hobiku. Dan saat itulah aku melihat gadis itu duduk di bawah
pohon. Dia memandang mentari tenggelam. Sejak sore itu aku selalu mengamatinya.
Penampilannya sungguh berbeda dengan di sekolah.Raut wajahnya juga berubah 180
derajat. Jika di sekolah dia terkesan dengan wajah cueknya,sombongnya,dingin
dan yang lainnya maka di tempat ini wajahnya terkesan anggun,manis,pendiam dan
feminim.
“Surat lagi…”
Aku
mendengar suara lembut Aya. Gadis itu telah datang. Aku segera bangkit dari
dudukku. Mengintipnya dari tempat persembunyianku. Dia mengambil surat yang ku
gantungkan tadi. Membukanya pelan lalu terlihat kedua matanya mulai bergerak
meniti tulisan pada kertas itu. Aku tersenyum melihatnya yang tiba-tiba
menyunggingkan senyum manisnya. Tanganku meraih SLR yang masih tergantung di
leherku. Tak akan kulewatkan momen ini. Inilah kegiatan baruku setiap sore
sejak saat itu. Aku memandang hasil potretku puas. Langit telah berubah oranye
tua. Raja siang itu akan kembali ke peraduannya dan akan segera tergantikan
oleh bintang malam. Aku kembali tersenyum lebar. Sunset yang sangat indah. Aksiku
sudah tak bisa dihentikan. Kalau sudah seperti ini,hanya malam yang akan
mengingatkanku untuk segera pulang. Aku mengambil banyak gambar sore ini. Terlalu
asyiknya sampai-sampai aku tak mengetahui kapan Aya pergi meninggalkan tempat ini. Aku melangkah menuju pohon di
atas bukit. Mengambil sehelai surat yang terjepit di ranting pohon.Inilah
jawaban suratku.
Langit
berubah ungu.Siluet sinar matahari masih tersisa di langit ungu. Aku segera
mengambil surat itu dan pulang. Kakiku lincah meloncat menuruni perbukitan
kecil ini. Asyik tersenyum sepanjang perjalanan pulang. Tidak memerlukan waktu
lama untuk kembali ke rumah. Hanya perlu berjalan kurang lebih sepuluh menit. Aku
melihat mobil Ayah yang baru saja memasuki garasi. Seketika aku menghentikan langkahku
dan menatap heran. Jarang sekali Ayah pulang sore. Biasanya Ayah selalu pulang
saat jam di kamarku menunjukkan pukul setengah Sembilan lebih. Tersadar dari
rasa heranku,aku segera berlari menghampiri Ayah.
“Ayah tumben sudah pulang?” Tanyaku saat Ayah menutup pintu
mobil.
“Memangnya
tak boleh?” Jawab Ayah sambil mendekatiku dan mengacak rambutku lembut.
“Bukan begitu maksudku,tapi baru kali ini Ayah pulang
cepat”
“Kau
tau? Ayah baru saja mendapat penghargaan dari perusahaan. Ayah menjadi pegawai
terbaik tiga tahun ini” Kata Ayah sambil menepuk-nepuk pundakku dan mengajakku
memasuki ruang keluarga. Ayahku bekerja di sebuah perusahaan observasi alam di
daerah ini. Sebagai pengawas kegiatan para observator alam yang bekerja di lapangan.
“Wow! Hebat dong!” Seruku.
“Itulah,kamu
harus menjadi anak yang lebih hebat dari Ayah. Terimalah setiap kritikan dari
orang lain” Ayah menasehatiku sembari mengajakku duduk.
“Bagaimana
jika ada orang yang memberi kritikan padahal aku sudah berbuat benar?” Tanyaku
penasaran.
“Jangan
beranggapan kamu telah melakukan hal yang benar. Mungkin kita merasa benar tapi
kita tida tau apa anggapan orang lainkan?”
“Lalu
apakah kita boleh menilai perilaku seseorang?” Aku teringat ucapan Toni tentang
Aya di sekolah tadi.
“Tentu
saja itu diperbolehkan” Ayah menatapku lembut. Aku hanya menganggukkan kepalaku
tanda mengerti.
“Tapi…jangan
menilai orang lain sebelum kamu menilai dirimu sendiri. Dan ingatlah untuk
selalu menggunakan cerminmu” Tutur Ayah
Aku
kembali memandang Ayah penuh kekaguman. Ternyata Ayahku pandai menyusun
kata-kata. Aku akan selalu mengingat perkataan Ayah dalam setiap kegiatan yang
kulakukan. Tunggu,Mendengar perkataan Ayah tadi aku jadi teringat dengan Aya. Miss
Black Mirrors di sekolahku. Mungkin perkataan Ayah adalah jalan yang tepat untuk
menyadarkannya.
“Aku
pergi ke kamar dulu” Pamitku ke Ayah.
Sesampainya
di kamar aku langsung duduk di dekat jendela kamarku. Membaca isi surat Aya. Aku
memandang langit senja yang sudah mulai berbintang. Sudah satu tahun lebih aku
membantu menyadarkannya. Namun sampai saat ini belum membuahkan hasil
secuilpun. Aku selalu menulis petuah
dalam suratku. Haruskah aku bertemu dengannya dan mengatakannya langsung. Kupikir
aku terlalu takut.
Hai…
Aku telah membaca semua surat darimu. Kau siaspa
sebenarnya? Aku tak pernah melihatnu di bukit. Aku hanya mendapati
surat-suratmu yang tergantung di ranting pohon. Aku tau sifatku selama ini
salah. Namun aku juga bingung dengan diriku sendiri. Mengapa aku belum bisa
mengubahnya? Dan apa maksud Miss Black Mirrors ? Aku punya firasat bahwa kau
juga bersekolah di tempat yang sama denganku. Apa itu benar? Kenapa kau
sembunyi?
Aya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar