Bayang
Rembulan
Pandangan
mataku masih tertuju padanya hingga gadis itu menduduki bangkunya. Bahkan aku
masih akan terus melihat ke arahnya jika saja dia tak menatapku balik. Tatapan
yang sadis. Kalian tahu tokoh seorang Profesor Snape di film Harry Potter?
Mereka memiliki tatapan sadis yang sama. Aku hanya bisa menghembuskan nafas
kesal dan kembali menekuni buku bacaanku. Sikapnya memang tidak berubah sejak
tahun kelulusan kemarin. Ini sudah hampir akhir semester dan diapun belum berubah juga. Kukira dia akan
berubah seiring bergulirnya waktu. Kukira dia akan berubah setelah dia
mendengar sindiran dari banyak mulut. Hampir empat tahun aku mengenalnya. Bagaimana
tidak? Sejak berada di Sekolah Menengah Pertama aku sudah sekelas dengannya. Itu
berlanjut sampai aku berada di tahun pertama Sekolah Menengah Atas. Lebih
tepatnya,ya sekarang ini.
“Ryan…”
Seseorang menepuk bahuku dari belakang.
“Ya?”
Jawabku sambil memutar posisi badanku..
“Lihat!
Miss Black Mirrors memperhatikanmu” Katanya sambil melirik ke arah gadis yang
kupandang tadi. Aku ikut menolehkan kepalaku,melihat gadis yang juga sedang
melihatku. Dia hanya menatapku datar. Tak lebih.Sebenarnya itu sudah biasa. Aku
mengenalnya lebih dari dia mengenalku.Sungguh aku tak memiliki masalah
dengannya. Kami tak pernah berbincang secara langsung. Aku tidak mengetahui apa
latar belakang masalah yang dimilikinya. Mungkin waktu akan memecahkan semua
ini. Aku kembali menatap lawan bicaraku.
“Aya maksudmu?” Tanyaku memastikan.
“Memangnya
siapa lagi? Bukankah hanya dia yang mendapat sebutan Miss Black Mirrors di sekolah
ini?” Jawabnya sakartis.
“Lalu?
Ada apa jika dia memperhatikanku?”
“Huhh…memangnya
kau tidak merasa aneh jika diperhatikan oleh gadis semacam dia?”
“Biasa
aja” Jawabku enteng. Toni hanya menatapku malas. Ya,namanya Toni. Aku
mengenalnya saat pendaftaran kemarin. Dia menjatuhkan tubuhnya di senderan
bangku. Kelas ini memang ditata dengan aturan satu bangku untuk satu orang. Peraturan
yang tepat menurutku. Dengan begitu kesempatan untuk mencontek sangat kecil.
Aku
kembali menatap Aya lalu melirik ke arah Toni yang masih memasang raut wajah kesalnya.
Dahiku berkerut. Ada sesuatu yang usil terbesit dalam pikiranku. Senyum jahilku
muncul seketika. Aku menepuk tangan Toni yang ada di atas mejanya. Dia
menatapku.
“Hei,kau
cemburu ya? Ha ha..” Ledekku padanya. Yang kuledek hanya membulatkan matanya
lalu bangkit dari posisi santainya.
“Ha
ha…yang benar saja,aku justru merasa sangat aneh dengannya. Memangnya kau
tidak? Lihatlah sikapnya yang cuek,jutek,sombong,pendiam,suka marah suka
nyalahin oran..”
“Berhentilah
bicara! Memangnya kau tidak ada pada daftar itu? Kau pikir kau manusia yang tak
memiliki sisi negatif sedikitpun?” Aku memotong ucapannya. Toni ciut melihat
tatapan sengitku. Toni tak seharusnya mengatakan itu semua. Karena aku
mengetahui sifat sebenarnya gadis itu. Aku bahkan sering berhubungan dengannya.
Maksudku pembicaraan lewat surat. Tak ada orang lain yang mengetahui tentang hal
ini. Bahkan Aya sendiri tidak mengetahui siapa sebenarnya yang membalas
surat-suratnya selama ini.
“Kenapa
kau melamun?” Toni melambaikan tangannya di depan wajahku. Membuat lamunanku buyar.
Aku hanya menggelengkan kepalaku pelan. Rasa khawatir yang setahun ini
menghantuiku kembali membuatku resah. Bagaimana jika aku tak bisa membuat gadis
itu sadar akan sikapnya selama ini? Mungkin jika aku menceritakan masalah yang
satu ini pada orang lain mereka akan menertawakanku. Mereka pasti akan berpikir
‘mengurusi dirinya saja belum benar
apalagi ditambah mengurusi orang lain? Bukanakah urusannya akan bertambah
rumit?’ Tapi tidak denganku. Entah dorongan apa yang membuatku berpikir
bahwa aku harus menyadarkan gadis itu. Menyadarkannya dari sifat buruk yang
dimilikinya sampai saat ini.
“Berhentilah
melamun dan berbaliklah menghadap mejamu!” Toni kembali membuyarkan lamunanku
untuk yang kedua kalinya.
“Memangnya ada apa?” Aku hanya menanggapinya dengan
pertanyaan
“Bu
Ella sudah masuk kelas,Bodoh” Jawabnya ketus dengan volume rendah. Aku segear
membalikkan badanku. Kulihat Bu Ella menatapku tajam. Ya Tuhan.Aku tak berani
melihatnya. Kelas ini terasa seperti makam di malam hari. Sunyi mencekam.
“Baiklah
anak-anak pelajaran akan segera dimulai. Mohon perhatiannya!”
Syukurlah Bu
Ella tidak memarahiku. Sekarang aku bisa menghembuskan nafas lega.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar