Sabtu, 14 Februari 2015

Bayang Rembulan #4



Itu kalimat terakhir Aya.Dia langsung saja pergi tanpa mempedulikan tatapan dari anak-anak lain. Kau telah membuat masalah besar Aya. Kau membohongi dirimu dengan semua kesalahanmu. Kau selalu berkaca di cermin hitam. Kau tak mau mencoba berkaca di cermin bening. Itu letak masalahmu selama ini.
                                                                                ***
            Sorenya aku masih melakukan kegiatan harianku. Menggantungkan surat dan memotretnya  bersama langit senja. Aya sudah dating dari tadi. Dia cukup lama menatap senja itu. Tak biasanya. Mungkin karena kejadian tadi pagi di sekolah. Langit telah sempurna gelap. Aya berdiri dan menjepitkan secarik kertas di ranting pohon. Setelah yakin Aya sudah pergi aku segera naik ke atas bukit dan mengambil suratnya. Malam ini sangat sunyi. Bulan yang hampir sempurna menghias langit bersama kilauan kecil dari bintang-bintang.
            I’m so confused
            Hanya itu isi surat Aya. Aku membuka tas ranselku. Kuletakkan dua buah cermin di bawah pohon. Aku tidak tahu mengapa aku meletakkannya di sini. Aku hanya berharap dia akan menemukannya dan mengetahui artinya.
***
            Ini malam purnama. Aku datang ke bukit batu ini lebih awal. Aya belum datang. Dibalik batu tempat persembunyianku ini aku hanya melihat memori yang ada di dalam kameraku. Aku tersenyum sendiri mengingat usahaku selama ini. Kenapa aku repot membantunya jika dia tidak berubah? Kenapa aku repot membantunya padahal orang lain diam? Aku juga tidak tahu. Sanyup kudengar suara langkah kaki. Aya sudah datang. Kuangkat kepalaku untuk melihatnya. Dia memakai celana hitam panjang dan sweater biru mudanya. Rambutnya panjang tergerai. Kau cantik Aya? Apa? Aku menepuk dahiku dengan telapak tanganku sendiri. Apa yang kau pikirkan Ryan? Rutukku dalam hati.
            Senja telah hilang. Kini menggantung bintang-bintang dan rembulan yang sempurna purnama di atas sana. Angin malam berhembus lembut. Kulihat Aya merapatkan sweaternya. Aku juga merasakan dinginnya malam ini. Namun ini dingin yang indah. Coba bayangkan. Aku ada di atas bukit batu menatap langit yang luar biasa indahnya. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Aya menuruni bukit dengan wajah sendunya. Apa dia tidak membalas suratku?,tanyaku dalam hati. Aku hanya melihat kepergian Aya dengan tatapan penuh keheranan. Tanpa menunggu lama lagi aku segera mendaki bukit dan mencari kertas suratnya. Siapa tahu hanya terjatuh dari ranting? Tanganku sibuk menyibak ranting di hadapanku. Tidak ada. Ya Tuhan. Aku menatap langit pasrah. Dia benar-benar tidak mau berubah? Cukup lama aku berdiri menatap langit dan memikirkan Aya. Angin malam terasa semakin dingin. Aku memutuskan untuk pulang. Namun…
            “Ya Tuhan….Arrghh!” Jeritku reflek.
            Saat aku berbalik akan pulang ternyata Aya ada di belakangku. Karena kaget akupun terjatuh ke belakang dan punggungku menghantam batu. Aku hanya meringis menahan sakit dan segera berdiri. Aya menatapku dengan sorot mata tak percaya. Melihatnya begitu aku hanya menggaruk kepalaku. Bukankah dia sudah pulang? Kenapa sekarang ada di hadapanku?
            “Jadi selama ini kau orangnya? Kau yang membalas suratku? Kau yang menggantungkan surat-surat itu di ranting pohon?” Tanyanya panjang lebar.
            “I..i…iya” Jawabku ragu.
            “Kenapa kau peduli? Bukankah aku orang jahat? Kau mengetahui semuanyakan?” Dia berjalan ke arah tempat yang biasanya ia duduki. Aku mengikutinya dan duduk di sampingnya. Wajah sendunya menatap langit. Tatapan matanya penuh ketakutan. Aku tahu itu.
            “Sekarang aku ingin bertanya padamu. Apa makna dari Miss Black Mirrors? Aya menatapku untuk meminta penjelasan.
            “Kau seperti selalu bercermin di depan cermin hitam. Kau tidak ingin melihat dirimu yang asli. Kau tak mau melihat semua kesalahanmu. Ya,seperti kau sedang bercermin di cermin hitam” Jelasku sambil menatap langit.
            “Coba kau pikirkan jika kau bercermin di cermin hitam. Kau tak akan bisa melihat dirimu dengan jelaskan?” Tuturku selanjutnya. Aya hanya mengangguk lemah. Aku berdiri dan mengambil dua buah cermin yang kuletakkan kemarin sore. Memberikannya pada Aya. Dia hanya menatap heran.
            “Coba kau berdiri dan lihatlah wajahmu di cermin hitam ini!” Dia mengambil cermin yang kuulurkan.
            “Wajahku buram tapi rembulan itu tidak” katanya sambil menunjuk bayangan bulan di dalam cermin.
            “Itu karena bulan selalu jujur. Dia tak akan melawan mendung yang menghalanginya walaupun itu akan membuatnya terlihat jelek. Coba perhatikan bayanganmu. Andai ada jerawat di wajahmu kau tak akan melihatnya karena kau menutupinya dengan cermin hitam” Aku bisa melihatnya yang sedang memperhatikanku dari ekor mataku.  
            “Sekarang lihat dirimu di cermin bening ini!” Kuserahkan cermin bening yang tadi masih kupegang.
            “Wajahku jelas dan rembulan tetap indah”
            “Kau seharusnya selalu bercermin. Akui kesalahanmu. Jangan menghindarinya dengan menutupi kesalahanmu. Minta maaflah jika kau memang berbuat salah” Aku melihat ada kristal bening yang mengalir dari kedua manik kembarnya.
            “Sekarang aku sadar Ryan. Aku memang salah. Aku tak akan mengulanginya. Kan kugunakan cermin beningku setiap saat.” Dia melihatku lembut.
            “Terimakasih telah membuatku sadar,Ryan. Terimakasih” Aya tersenyum manis padaku. Aku menghapus air matanya.
            “Janji jangan ulangi dan tetaplah tersenyum” Aku memandang langit yang semakin gelap. Aku baru ingat kalau ini malam Minggu. Bibirku membentuk senyum simpul.
            “Ayo pulang!” Ajakku.
            Aku menarik tangannya untuk berdiri dan bergegas pulang. Malam ini tak akan kulupakan sepanjang hidupku. Selama perjalanan pulang Aya selalu menebarkan senyumnya. Begitupun denganku.
***
            Sejak malam itu Aya berubah menjadi gadis yang periang. Banyak teman-teman yang  mendekatinya. Aku hanya bisa tersenyum lebar melihat raut wajahnya yang ceria. Aku bergegas menuju ke arah tempatnya berada. Toni ada di sampingku.
            “Kau menyukainya! Karena itulah kau berjuang untuk mengubah sifatnya!” Celoteh Toni.
            Aku mengerutkan dahiku. Apa benar? Entahlah. Yang terpenting aku telah berhasil. Bayang rembulan di cermin hitam itu membantuku. Terimakasih Tuhan. Ayah benar. Suatu perjuangan akan membuahkan hasil yang sangat hebat asal kita ikhlas menjalaninya. Aya,tetaplah tersenyum. Pikiranku buyar karena Toni terus mengoceh di sampingku. Dasar usil. Aku hanya tertawa menanggapinya. Semua akan indah pada waktunya.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bayang Rembulan #4

Itu kalimat terakhir Aya.Dia langsung saja pergi tanpa mempedulikan tatapan dari anak-anak lain. Kau telah membuat masalah besar Aya. K...